Menjadi Kekasih Allah dengan Ngurus Kambing

Menjadi kekasih Allah, bukan hanya dengan diam di mesjid, dzikir dan mengaji. Menjadi orang taat beragama, juga adalah dengan kerja, terjun ke dalam kesibukan dunia, untuk memakmurkannya, misalnya mengurus kambing. 

Saya menulis ini buat memotivasi diri saya sendiri, karena sekarang, sedang membuat kandang kambing. Apa yang direncanakan semalam, hari ini saya praktikkan. Dibantu Mang Unar, seorang pria berpewakan kecil tinggi, saya mendirikan kandang kambing itu. Mang Unar bagian pertukangannya, dan saya bagian disuruh-suruh. Maka mengangkut kayu dari saung kayu ke pinggir kolam menjadi tugas saya. Jalan yang harus saya lalui dalam mengantar kayu itu berliku, mengitari sebuah rumah tetangga, menuruni sebuah tangga tanah, mengitari pematang kolam, melintasi selokan, pematang, sawah, menyeberangi selokan lagi, dan barulah sampai. Akan tetapi sebenarnya jarak bisa lebih dekat, jika kayu itu saya lempar saja ke jurang di samping rumah, sebab dengan cara itu, si kayu langsung sampai ke lokasi pembuatan kandang. Dan itulah yang saya lakukan, si kayu saya lemparkan saja, maka pengantaran menjadi lebih cepat dibanding jika saya antar melalui jalan tadi. Hingga kemudian saya mengantarkan balok kayu besar bekas membuat merangkai beton. Tahu sendiri kayu itu banyak besi betonnnya, bertancapan, buat melipat cincin besi baja beton yang akan dianyam. Saya pikul dan bawa ke tepi jurang. Setelah mantap untuk dilemparkan, saya tolak kayu itu keras-keras ke depan, namun tak tahunya, di atas saya ada tambang tali jemuran. Bukannya jatuh, kayu itu malah tertahan tambang jemuran itu, lalu menggebuk belakang telinga saya dan punggung telapak tangan. 

"Bukkk"

Berdarah.

Beres itu, tugas saya lainnya adalah menimbun kolam dengan tanah. Ada-ada saja, bukannya di tempat yang sudah disediakan, mendirikan kandang itu ternyata harus di kolam kering, dan kolam itu harus lebih dahulu ditimbun. Tugas siapakah menimbunnya?

Saya.

Rasanya dalam pekerjaan ini, sayalah yang paling lelah. Padahal sejatinya tidak. Semua orang lelah, yang diam maupun yang banyak gerak akan merasa lelah, kecuali orang yang gerak-geriknya mengarah kembali kepada Allah, sumber kedamaian setiap manusia.

Kembali, ketika saya menemukan kata kembali, saya teringat kepara seruling bambu. Suatu ketika seruling bambu ditiup, maka melengkinglah suaranya, mengalun menyedihkan isi batin, atau memubuat kita, merasa pulang ke desa, ke tengah pesawahan, misalnya suara seruling nyanyian sunda, ketika mendengarnya, biasanya kita merasa sedang duduk di saung sawah. Itu karena, kata orang bijak, suara seruling itu sesungguhnya adalah, lengking kerinduan kepada rumpun asalnya. Saat dia ditiup dan mengalunkan kerinduan kepada rumpun asalnya, maka terdenga begitu indah. Maka demikianlah saat seseorang telah menapak jalan kembali kepada Pencipta-Nya, maka saat itulah dia akan merasakan keindahan dan kedamaian dalam hidupnya.

Sebaliknya seringan dan senyaman apapun pekerjaan seseorang, selengkap apapun fasilitasnya, semisal dengan AC yang meniupkan bau wangi, jika dia tidak kembali kepada damai dan indahnya perjalanan kembali kepada Allah, maka dia tetap saja akan lelah. Lelah dengan rasa cemas, cemas usahanya mengalami kerugian, cemas ada orang dengki dan meruntuhkan, cemas barang-barangnya menjadi rusak dan hilang, cemas kepada anaknya di rumah, cemas jabatanya akan segera berakhir, cemas, cemas, dan masih banyak kecemasan lainnnya. Tetap saja lelah.

Jadi sekarang saya akan mengurus kambing, mestinya terus saya ingat, lelah atau nyamannya saya bekerja, sebetulnya bukan terdapat pada banyak tidaknya tenaga yang saya keluarkan, tetapi, terletak pada bagaimana saya menjalani pekerjaan mengurus kambing ini. Akankah ini saya jadikan sebuah perjalan kembali kepada Allah? Jika saya menjadikannya sarana perjalanan kembali kepada Allah,  menjalaninya dengan sabar, dengan ikhlash, dengan berdoa, dengan terus mengharapkan karunia-Nya pada usaha apapun yang saya lakukan, maka tak bisa tidak, kedamaian dan kebahagiaan akan tetap menjadi milik saya.

Jadi baiklah, akan saya jadikan mengurus kambing ini, sarana bagi saya, sebagai aplikasi keinginan saya, menjadi kekasih Allah.

Related Posts:

0 Response to "Menjadi Kekasih Allah dengan Ngurus Kambing"

Post a Comment