Bagaimana Menulis di Tengah Segala Gangguan Menyebalkan?

Sebagai penggila baca tulis, seringnya saya ingin sendiri. Dalam kesendirian, ada ketenangan dan fokus, kepada buku yang saya baca atau tulisan yang saya garap. Akan tetapi tak bisa. Hidup tidak mungkin sendiri. Allah menciptakan orang lain, yang dari mereka, saya mendapatkan kebutuhan saya, dan karena itu, saya pun harus mau, memberikan kebutuhan mereka.

Demi kesendirian, saya sampai kabur dari rumah, pergi ke tepian sawah, sawah kering, dengan padi meranggas bak rambut tua bangka. Di sana sepi, tak ada siapa pun, selain satu dua orang lewat, kemudian, buku tebal nan menawan "Mereka Adalah Para Khalifah" itu saya buka dan baca, ditemani tiupan angin sore, hingga matahari, perlahan turun ke peraduannya. Kali lain saya sengaja, menterlambatkan diri pulang kantor, dan tetap diam, hingga sore, hanya karena ingin menyelesaikan cerpen yang saya garap, dan memang selesai.

Akan tetapi, tak selamanya bisa begitu. Saya butuh online, dan ini berarti, saya harus pulang, ke rumah kepala sekolah, karena di sini ada internet gratis. Dengan internet ini, saya bisa langsung menulis ke blog. Namun sudah resko, jika saya menulis di sini, harus mau terganggu dengan panggilan dari kepala sekolah buat mengerjakan ini itu. Seperti saat saya menggarap tulisan ini, dengan menuliskanya di postingan blog,  baru tiga paragraf mulai, sudah terdengar panggilan, dari Pak Wawan. 

Dia memang bertanya, apakah saya sibuk?
Saya jawab, tidak. Karena saya anggap, menulis ini bukan pekerjaan, tapi permainan.
Jadi, mana bisa beralasan sibuk dengan permainan
Dan saya menganggap menulis ini permainan, adalah proyeksi dari rasa pesimis, karena sampai sekarang, gila menulis ini belum menghasilkan.
Itulah sebabnya, saat Pak Wawan menyuruh saya membeli beras merah buat makan burung merpati
Tak bisa menolak, saya berangkat ke pasar
Sepulang dari pasar, saya kira pekerjaan tuntas. Tinggal berikan itu pakan burung kepada Pak Wawan, kemudian kembalian uang, dan setelah itu, saya bebas, bisa duduk santai lagi di depan layar, meneruskan tulisan terbengkalai.
Namun tidak, setiba saya kembali, Pak Wawan berintruksi kembali
Supaya beras merah itu, saya bawa ke belakang rumah
Memberikannya langsung ke burung
Dasar orang bodoh
Saya tak bisa menolak, ngeloyor saja ke belakang
Dan di sana, hadduh, ada-ada saja itu bahan kerjaan. Sebelum memberi makan burung, saya melihat piva saluran air lepas, air keluar terbuang. Jelas itu, mana mungkin saya biarkan
Jongkoklah dulu, membetulkan piva lepas itu
Dan ketika saya masukkan, lepas lagi di bagian lainnya
Jongkok ini saya loncatkan, menuju bagian lain itu, dan saya betulkan
Dan brall...air keluar lagi di bagian asal
Hhuaahhh,
Hahhhh!!!
Ada-ada saja ini kerjaan
Dan ketika saya masukkan beras meras ke kandang burung
Susahnya, rasanya minta ampun
Tempat makannya di atas keramba besi. Keramba itu besar, namun, hanya tangan saja yang bisa masuk ke sana. 
Dan usai memberi makan burung, saya kira semua tuntas, dan saya tinggal kembali ke blog, meneruskan tulisan tertunda, namun...saat kembali ke kantor, Pak Wawan sedang di sana, mencari motor murah di toko online.
Akibatnya tulisan ini pun tertunda
Saya garap Selasa siang, baru selesai sekarang, Rabu, setelah shalat Isya...

Begitulah gangguan yang saya alami
Saya ladeni saja gangguan itu, meski dengan hati dongkol dan perut kesal
Dan menulis, saya teruskan lagi setelah ada waktu, dan supaya, jiwa tulisan tidak terganggu dengan rintagan menyebalkan itu, buat saja rintangan itu menjadi bahan tulisan, seperti yang barusan saya praktikkan.

Related Posts:

0 Response to "Bagaimana Menulis di Tengah Segala Gangguan Menyebalkan?"

Post a Comment